Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah
digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah
tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah
ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh
manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan
ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk
berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai
yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya
memperbaiki citra diri.
Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah
SWT, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya,
dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT. Ia akan
berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan
dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga
selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya.
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid:
22-23)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(al-An’aam: 59)
“Tiada seorangpun dari kalian kecuali
telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka
berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab,
‘Tidak, (akan tetapi) beramallah …karena setiap orang dimudahkan (dalam
beramal).’ Kemudian, beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik
(surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang
terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (al-Lail:
5-10).’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali
bin Abi Thalib)
“Sangat mengherankan seorang mukmin itu,
karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah
dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan
(kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia
diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan
baginya.” (HR Muslim dari, Abu Yahya
Shuhaib bin Shinan)
II. DEFINISI DAN DALIL-DALILNYA
Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian sebagaimana berikut.
-Pemutusan, hukuman.
Kita bisa temukan pada ayat berikut ini.
(QS…..)
-Perintah, kita bisa
temukan pengertian ini pada firman Allah di bawah ini.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” (al-Israa`:23)
-Pemberitaan, bisa kita
temukan dalam ayat berikut ini.
“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu
bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (al-Hijr: 66)
Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak.
Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna
kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu al-Atsir 4/78)
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran yang berarti penentuan.
Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini.
“Dan dia menciptakan di bumi itu
gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushshilat: 10)
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah
ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah
terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada
zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian
kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar
merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling
berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di
antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka,
barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan
bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).
Dalil-dalil Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana
iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas
pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid.
Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya
sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka
dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakanfaridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap
muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.
-Hadits Jibril yang
diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh
Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman
kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman
kepada qadar baik maupun buruk.” (HR Muslim)
-“Sekiranya Allah SWT menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh
melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka
rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas
seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka
Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui
bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang
ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu
mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.”(HR Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha
dan qadar-Nya berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadiid: 22-23)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran.”
(al-Qamar: 49)
“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di
pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh,
sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan
persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat
dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua
pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu
agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar
orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfaal: 42)
Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi
tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang
demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan
adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang
Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman
kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman,
‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka
atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal
saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena
setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini,
‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya
cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan
baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala
terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang
sukar.” (al-Lail: 5-10)
III. RUKUN-RUKUN IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya.
Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap
mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman
terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama, Ilmu Allah SWT.
Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang
merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala
sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak
Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia
juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan
terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah
berikut ini.
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit
dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia,
Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.”(al-Hasyr: 22)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui
apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(al-An’aam: 59)
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka
kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)
Kedua, Penulisan Takdir. Di
sini mukmin harus beriman bahwa Allah SWT menulis dan mencatat takdir atau
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah
yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada
suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid:
22-23)
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi;
bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya
yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada
di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (al-An’aam: 38)
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang
Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman
kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka
ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani
qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang
menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak
menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti
tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan
dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah
berfirman,
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat
melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.”(Faathir: 44)
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita
temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.
“Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwiir: 29)
“Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa
yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa
yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya
berada di atas jalan yang lurus.” (al-An’aam: 39)
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yaasiin: 82)
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi
orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi
meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak
berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau
ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan
orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini
Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan
(tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka
ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada
yang baik
Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika
beriman terhadap qadha dan qodar, seorang mukmin harus mengimani bahwa
Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada
Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia
memelihara segala sesuatu.”
(az-Zumar: 62)
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit
dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam
kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”
(al-Furqaan: 2)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu
dan apa yang kamu perbuat Itu.“ (ash-Shaaffat: 96)
“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.”
(HR Hakim)
Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini
setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau
didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang
sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti
merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman
terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid
itu sendiri.
IV. MACAM-MACAM TAKDIR
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang
ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala
sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum
diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah SWT memerintahkan al-Qalam (pena)
untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari
kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.”
(al-Hadiid: 22)
“Allah-lah yang telah menuliskan takdir
segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi.
Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR Muslim)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya
ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini
mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda
Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat
yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki,
ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu
takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman
Allah berikut ini.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan
yang penuh hikmah.”
(ad-Dukhaan: 4-5)
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang
akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan
lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini
sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi
dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan,
mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah,
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu
meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (ar-Rahmaan: 29)
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir
yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
V. BERDALIH DENGAN QADAR DALAM KEMAKSIATAN
DAN MUSIBAH
Semua yang ditakdirkan oleh Allah SWT selalu tersirat hikmah dan maslahat
bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia
tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah
melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh
dinisbatkan kepada Allah SWT, melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan
manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung
keadilan, hikmah, dan rahmat
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah
dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah
Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari
Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan
kemaksiatannya.
Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya.
Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga
menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal
untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka,
barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang
memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh
karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada
unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal
perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah SWT.
Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran
dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah SWT. Oleh karena itu,
Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran
mereka seperti dalam firmanNya;
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan,
akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami
tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa
pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para
rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai
sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu
tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah
berdusta.Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika
Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (al-An’aam: 148-149)
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika
Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain
Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan
sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum
mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk
menerangkan kebenaran.” (an-Nahl: 35)
Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat
dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi
Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.
“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa
berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan
mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah
dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah
kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan
kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka,
Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR Muslim)
VI. BUAH IMAN KEPADA QADAR
Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah SWT secara benar akan
melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi
atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu
berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan
syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.
DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa
Al-Qadar”menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.
Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat.” (al-Ma’arij: 19-22)
Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman
dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab
Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al-A’raaf: 99)
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
NAMA :
TEMPAT TINGGAL :
KOMENTAR :