Bukti keimanan seseorang adalah adanya amal nyata dalam kehidupan
sehari-hari oleh karena iman bukan sekadar pengakuan kosong dan “lip service” belaka, tanpa mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam kehidupan
seorang Mukmin. Selain merespon seluruh amal islami dan menyerapnya ke dalam
ruang kehidupannya, seorang Mukmin juga harus selalu loyal dan memberikan wala’-nya kepada Allah dan Rasulnya. Ia harus mencintai dan mengikuti apa-apa
yang diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang. Perhatikan
firman Allah berikut ini.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa
di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah).” (al-Maa`idah:
54-55)
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah
Allah dan Rasul-Nya,’ jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 31-32)
Di sisi lain, seorang Mukmin tidak boleh loyal dan cinta terhadap
musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah
mengingatkan orang-orang beriman tentang hal ini.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka, janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga
mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang
pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (an-Nisaa`: 89)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.” (al-Maa`idah: 51)
Oleh karena itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep al-wala’ dalam perspektif Islam.
I. DEFINISI
Secara etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna,
antara lain ‘mencintai’, ‘menolong’, ‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’.
Ibnu al-A’rabi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar, kemudian pihak ketiga
datang untuk meng-ishlah (memberbaiki hubungan). Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada salah satu di antara keduanya.”
Adapun maula memiliki banyak makna,
sebagaimana berikut ini.
“Ar-Rabb, Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang
Memerdekakan, Yang Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau
sekutu, Yang Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua
arti ini menunjukkan arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu Mandzur, 3/985-986)
Selanjutnya, kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah‘permusuhan’ dan kata al-wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Yang demikian itu karena sesungguhnya
Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya
orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung.” (Muhammad: 11)
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir
bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi
kawan bagi setan.”(Maryam: 45)
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman;
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan
mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah:
257)
Dalam terminologi syariat, al-wala’ bermakna penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang disukai dan
diridhai Allah, berupa perkataan, perbuatan, keyakinan, dan orang (pelaku). Jadi, ciri utama orang
Mukmin yang ber-wala’ kepada Allah SWT adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa
yang dibenci Allah. Ia mengimplementasikan semua itu dengan penuh komitmen.
II. KEDUDUKAN AKIDAH AL-WALA’
Akidah al-wala’ ini memiliki kedudukan
yang sangat urgen dalam keseluruhan muatan Islam.
Pertama, ia merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, menetapkan “hanya
Allah” dalam syahadat tauhid berarti seorang Muslim harus berserah diri hanya
kepada Allah, membenci dan mencintai hanya karena Allah, lembut dan marah hanya
kepada Allah, dan ia harus memberikan dedikasi maupun loyalitasnya hanya kepada
Allah.
“Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’aam: 162)
“Dan dikatakan kepada orang-orang yang
bertakwa, ‘Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Allah
telah menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih
baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (an-Nahl: 30)
Kedua, ia merupakan bagian dari ikatan iman yang kuat. Rasulullah saw. bersabda,
“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta
karena Allah dan benci karena Allah.” (HR Ahmad dalam
Musnadnya dari al-Bara bin ‘Azib)
Ketiga, ia merupakan sebab utama yang menjadikan hati bisa merasakan manisnya
iman. Rasulullah saw. bersabda,
“Ada tiga hal yang apabila seseorang
mendapatkan dalam dirinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah
Allah dan Rasulnya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri; hendaklah ia tidak
mencintai seseorang kecuali karena Allah; hendaklah ia benci kepada kekufuran
seperti bencinya untuk dilemparkan ke dalam neraka setelah Allah
menyelamatkannya daripadanya.”(Muttafaqun ‘Alaih)
Keempat, ia merupakan tali hubungan di mana masyarakat Islam dibangun di atasnya.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10)
Rasulullah saw. bersabda, “Cintailah saudaramu sebagaimana
kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)
Kelima, pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah.
Rasulullah saw. bersabda,
“Orang-orang yang saling mencintai (karena
Allah) akan berada di atas mimbar dari cahaya pada hari kiamat.” (HR at-Tirmidzi)
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan
naungan Allah, di mana pada hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya. (Di
antara mereka) adalah dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah,
mereka berkumpul dan berpisah karena Allah.” (HR Muslim)
Keenam, perintah syariat untuk mendahulukan akidah al-wala’ ini daripada hubungan yang lain.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad
di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)
Ketujuh, mendapatkan walayatullah.
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman;
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah:
257)
Kedelapan, akidah ini merupakan tali penghubung yang kekal di antara manusia hingga
hari kiamat. Allah berfirman,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti
itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa;
dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (al-Baqarah: 166)
III. HUKUM AKIDAH AL-WALA’
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits, aqidah al-wala’ dan al-bara’merupakan suatu kewajiban yang harus ditegakkan dalam syariat Islam. Ia
merupakan salah satu konsekuensi dan syarat sahnya syahadat. Seorang Muslim
tidak mungkin lepas dari akidah ini dalam setiap dimensi kehidupannya. Ia harus
mencintai Allah SWT, Rasul, dan hamba-hamba yang beriman, dengan segala
pengorbanannya. Pada saat yang sama, ia harus menegakkan permusuhan terhadap
kekufuran dan manusia-manusia yang mendukung kekufuran tersebut. Perhatikan
ayat-ayat Allah berikut ini.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara,
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka,
dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan
yang beruntung.” (al-Mujaadilah:
22)
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku lebih ia cintai
daripada anaknya, bapaknya, dan seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘Alaih)
“Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal (merasa
tenang) dengannya, maka ia sama dengannya.” (HR Abu Dawud dari Samurah bin Jundub)
IV. HAK-HAK AL-WALA’
Ada beberapa hak yang berkaitan dengan akidah al-wala’ dalam syariat Islam, sebagaimana penjelasan berikut.
Pertama, hijrah, yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim, kecuali bagi
orang yang lemah atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan
politik kontemporer yang tidak memungkinkan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat
bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang
itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan, ataupun anak-anak
yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),
mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.” (an-Nisaa`: 97-99)
Kedua, membantu dan menolong kaum muslimin dengan lisan, harta, dan jiwa di
manapun ia berada dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allah
berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan
orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang
Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi)
jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka
kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada
perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (al-Anfaal: 72)
“Orang mukmin terhadap orang mukmin yang
lain bagaikan bangunan yang sebagian menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Tolonglah saudara kamu baik yang
melakukan kezhaliman atau yang dizhalimi.” (HR Bukhari)
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim
yang lain, ia tidak meremehkannya, tidak menghinakannya, dan tidak
menyerahkannya (kepada musuh).” (HR Muslim)
Ketiga, terlibat dalam harapan-harapan dan kesedihan-kesedihan kaum Muslimin.
Rasulullah saw. bersabda,
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta,
kekompakan, dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota
tubuhnya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut menjaga dan
berjaga.” (HR Bukhari)
Keempat, hendaklah ia mencintai saudara Muslim sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri, baik berupa kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati
mereka, tidak menyombongkan diri dan atau mendendam terhadap mereka.
Kelima, tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan ber-ghibah serta menyebarkan namimah terhadap sesama kaum Muslimin.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)yang buruk sesudah
iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zhalim.”(al-Hujuraat: 11-12)
Yang dimaksud dengan ‘jangan mencela dirimu sendiri’ ialah mencela antara
sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Dan ‘panggilan yang
buruk’ ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti “Hai,
Fasik”, “Hai, Kafir,” dan sebagainya.
Keenam, mencintai kaum Muslimin dan berusaha untuk berkumpul bersama mereka.
Rasulullah saw. bersabda, “Adalah wajib bagiku mencintai
orang-orang yang saling menziarahi.” (HR Ahmad)
“Ikatan iman yang paling kuat adalah
mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR ath-Thabrani)
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi: 28)
Ketujuh, melakukan apa saja yang menjadi hak kaum Muslimin, seperti menjenguk yang
sakit atau mengantar jenazah, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak
memakan harta mereka dengan cara yang batil, dan lainnya. Rasulullah saw.
bersabda,
“Barangsiapa yang curang terhadap kami,
maka dia bukan dari golongan kami.” (HR Muslim)
“Hak seorang Muslim atas seorang Muslim
yang lain ada enam: bila kamu melihatnya berilah salam kepadanya, jika ia sakit
jenguklah, jika ia mati antarkanlah jenazahnya….” (HR Muslim)
Kedelapan, bersikap lembut terhadap Muslimin, mendoakan dan memohonkan ampun bagi
mereka. Allah berfirman,
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak
ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan
bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui
tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Muhammad: 19)
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi
maka ia tidak akan disayangi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kesembilan, menyuruh mereka kepada yang makruf dan mencegah mereka dari kemungkaran,
serta menasihati mereka.
“Rasulullah bersabda, ‘Agama adalah
nasihat.’ Mereka bertanya, ‘Untuk siapakah, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab,
‘Untuk Allah, Rasul, kitab-kitab, pemimpin kaum Muslimin, dan untuk mereka
semua.’” (HR Muslim)
“Barangsiapa di antara kamu yang melihat
kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan; maka apabila tidak mampu
hendaklah (ia lakukan) dengan lisannya; dan apabila tidak mampu, hendaklah (ia
lakukan) dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Kesepuluh, tidak mencari-cari aib dan kesalahan kaum Muslimin serta membeberkan
rahasia mereka kepada musuh-musuh Islam.
“…dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan mereka…” (al-Hujuraat: 12)
Kesebelas, bergabung ke dalam jamaah kaum Muslimin dan tidak berpisah dengan mereka.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran:
103)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa`:
115)
Keduabelas, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.” (al-Maa`idah: 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
NAMA :
TEMPAT TINGGAL :
KOMENTAR :